21 June, 2008

di ribuan hektar lahan perkebunan
kita menanam palawija hingga rempah-rempah
di ribuan hektar hamparan persawahan
kita menanam dan memanen padi hingga ketan
di ribuan mil kelokan sungai
kita minumkan dan mandikan ternak
di sepanjang kaki langit bentangan samudera
kita membentang layar mengayuh dayung
memanen ikan-ikan, menjemur garam hingga rumput laut
tapi hanya di pasar kita bisa bertemu

secangkir kopi, sepoci teh atau segelas susu
tersaji hangat di atas meja ruang kerja
banyak laporan yang kita baca
tentang rakyat yang sejahtera atau yang melarat
sepiring nasi, semangkuk sayur pedas
sepotong ikan goreng dan telur rebus
tersaji nikmat di meja makan
sambil kita baca koran tentang negeri
tapi hanya di pasar kita bisa bertemu

karena pasar adalah cermin kita
dengan aneka macam wajah
ada buruh kumal dan pegawai yang necis
ada ibu-ibu pedagang dari desa yang sederhana
ada perempuan pengusaha cantik bergincu
ada supir bemo dan kernet yang diburu setoran
ada segerombolan pengemis di emper toko
ada bocah-bocah ingusan mengais tong sampah
itulah pasar
cermin kita sesungguhnya
dan hanya di situlah kita bisa bertemu
dengan rakyat yang paling nyata!

menyerupai tikus, masih kucari heningmu
di pondasi-pondasi departemen
kulubangi beton dengan cakar waktuku
limbah deterjen rumah tangga
kian mempertajam tekstur dekorasi sepanjang gang
sejauh dua puluh empat jam
putaran oplet dan taxi
menujumu

di manakah terminal terakhir
tata ruang dilingkarkan trotoar
kota dilengkungkan antara hasrat dan kebutuhan
seluruh gerak jadi samar
bagai gerimis di permukaan kaca bus
lalu tiap perempatan senantiasa menyodorkan
keterhenyakan
dan bagi tikus dalam mauku
penunjuk arah yang dipaku lengannya itu
tak pernah mencoba berhenti ketawa

memang kesepianku yang salah
bagaimana kuingin padi menghampar dalam warna aspal
juga sepetak kebun tomat
padahal halaman di samping dapur rumah kost
telah ditanami kebun perhitungan
begitulah kekanakanku
rindu primitifku menyerupai tikus mencari heningmu
andai saja dapat kuibadahkan sepi ini ...

di ladang waktu
sayap-sayap kecil
dikepakkan berbagai mimpi
bagi penderitaan besar
dan panjang

air kali mengalir
di dalamnya, terbayang hari esok penuh memar
luka siapakah yang berdarah di gunung?
anak-anak pedesaan
tak mengenal lagi kemuliaan sebuah permainan
mereka kehilangan sepenggal keluguannya
dan merasa asing bagi sebuah pemahaman
yang lahir secara sederhana
bahwa sekuntum bunga
mekar untuk dipersembahkan pada cinta

di bibir pantai, angin tersesat
sebuah kampung kehilangan namanya sendiri
hanya kabut bergerak
dari pohon-pohon yang dikerdilkan jiwanya

di ladang waktu
tiba-tiba kita terdampar pada rasa waswas
tak bertepi