28 September, 2008

di dusun kita, di jalanan bercadas
begitu saja engkau tumbuhkan kangen
seperti mengembalikan puisi pada kodratnya
: menyaring debu
bahkan layu luka pohonan sejarah kecilku

ternyata aku telah memulai lagi petualangan ini
sebagai petani dari masa silam negeriku
yang kehilangan bahasa musim
setelah rumus-rumus zaman meluluhkan
doa-doa para pawang hama

aku ingin membajak mulai dari betismu
yang telanjang dan mengingatkan aku bahwa
perempuan di dusunku adalah naluri bumi
yang tak bernama selain cinta
dan aku – turunan para petani
akan terus memelihara jalanan cadas
agar kian hijau kangen yang engkau tumbuhkan


nanoq da kansas

sepanjang senja itu
cinta memeluk nafas kami
karena dingin gerimis semalam
kami sepakati untuk tak menangis
bagi sebagian perjalanan yang terhapus
oleh ketergesaan sejarah

dengan kejujuran angin
yang mengelus hamparan hijau tebu
jalanan ke bantul masih menyisakan
lori-lori jelita
aroma lumpur dan sepeda tua
senyum tabah penjual dawet, pengayuh becak
cukup sederhana untuk membangun kembali
kenangan seorang penyair

dan puisi dapat hidup senantiasa
di mana saja, seperti air mengalir
menemukan bentuknya di coklat kali code
atau di eskalator departement store
yang mencuri kesahajaan malioboro
untuk akhirnya pulang kepada cinta
dan kami belajar jadi air
kalaupun tak sepenuhnya sama
kami tak lebih dari penari

bagian kecil sandiwara zaman

nanoq da kansas




parangkusumo senja


apa yang dapat kuceritakan pada pasir bisu
atau pohon siwalan yang bersikukuh
meredam misteri
laut selatan
selain senja yang terkesima
pada keajaiban cinta yang melahirkanmu

segera kubayangkan matamu
di mana dunia tua kita tergenang
suara-suara
biola zaman yang tersayat
mendekapku – menghindarkan aku dari kecemasan
dan mengajarkan puisi-puisiku
mencintai jiwa-jiwa sederhana perkampungan
yang berani menyambut sunyi
bahkan lebih agung dari kematian

barangkali aku telah terlalu jauh mengembara
mempertanyakan perih dunia di setiap luka waktu
atau aku telah terbunuh jauh sebelum
rindu diterjemahkan kemarau dari kelopak bunga
maka kekasihku, ceritakanlah
senja yang terkesima pada keajaiban
cinta yang melahirkanmu

nanoq da kansas




berujung jugakah kemarau
di sini, ibu? mataku terkubur abu
pohonan hangus di tanah kupu-kupu
merindukan jemari rampingmu
menambal koyak cakrawala
sepanjang darah air mata tanah airku

pagi yang kemudian menjenguk jiwaku
di persimpangan benda-benda; menyuguhkan
segelas embun
mungkinkah tuhan sedang rindu
pada taman-taman yang telah mati
dalam sajakku?
kapan

aku boleh meneguknya? sementara setiap rambu
tak hentinya menyuntikkan serum duka ke dadaku
satu jam sekali sejarah menuangkan
cairan penghilang rasa sakit
ke dalam jahitan kepalaku
dan

ketika aku sampai ke alamat cintamu
barangkali aku sudah tak butuh apa-apa
kecuali kehangatan ramping jemarimu
untuk mengikatkan seutas benang doa

pada jiwaku yang tertinggal di halte-halte

nanoq da kansas




esok atau seabad yang akan datang
engkau bahkan pasti kukenalkan kembali
pada rona atap rumah, aroma bunga mangga
serta jalan kecil ke sungai
: bagian paling sederhana dari riwayat kita
sebelum kota-kota bertamu
lalu mengangkut kita pada jarak
yang disepuh kefanaan dunia

saat engkau kembali, padaku engkau akan
menanyakan kabar masa kecilmu. sawah-sawah atau
hutan yang melegenda dalam puisi
semoga aku berani tak berpura-pura lupa

atau engkau mungkin akan mengisahkan
pengorbanan jam-jam sekolahmu pada kilau
kristal kimia laboratorium, remang-remang politik
yang lebih dipercayainya dari pada
kejujuran tradisiku
tentu kita akan mencoba saling memahami
seperti pengertian yang tumbuh antara hujan
dan kemarau di kampung kita yang menjadi puisi
:puisi kita

maka esok atau seabad yang akan datang
engkau bahkan pasti kukenalkan kembali
pada bagian paling sederhana

dari sejarah yang dibentuk riwayat kita

nanoq da kansas