30 December, 2008

: kepada santi

kita berduyun, sedang hujan datang
sendiri. Menggoyangkan cemara muda
tempat kita berteduh
senja itu

siapa di antara kita yang teringat ibu?
kampung halaman tak lagi mengirim angin
hanya selembar potret dalam hati
dengan gambar begitu samar
mempercakapkan genangan danau dan demam
yang dikepung ribuan kota
dalam kesepian matamu

sebentar lagi gelap
engkau boleh pulang setelah makan, — hiburmu
Maka kita pun menyalakan tungku
aku mengunyah keratan pertama masa silammu
engkau menghisap bagian paling hitam
jantungku. Darahku
sempurna

lama.

Hujan tak pernah sampai ke stasiun
gelap yang datang lapar juga
menelan jalan puisi di depan kita
: aku buta arah tempuh
engkau kehilangan waktu

kita tak pernah bisa pulang

nanoq da kansas

kepada pelukis made wianta

di manakah asalku ketika kau buka pintu?
halaman kecil itu pun telah menjadi cakrawala
menelan atmosfir di luar tubuhku
aku datang bergelimang biji-biji tumbuhan
tunas-tunas bunga ajaib, bahkan
debu yang sebagiannya tak kukenali

siapa di antara kita yang menggali
atau tergali?
di tembok putih – tempat sebagian langit
melabuh, hal-hal kecil berbiak liar
pikran-pikiran besar merunduk
tertinggal jauh oleh diam yang
diciptakan riuh rindu percakapan warna

sementara itu
usiaku yang terlambat menancapkan akarnya
selalu tersipu di atas garis gairah
kelahiran yang ditinggalkan tanah
perjalanan yang digoda
banyak sekali persimpangan
sebelum usai kanvas terbingkai

di manakah asalku ketika keluar
dari pintu itu?

nanoq da kansas

29 December, 2008

kepada pelukis made budhiana


kanvas yang dijahit anak-anak, akankah
sempurna menyerap cahaya? Betapa dingin
perjalanan sekarang. Sampah-sampah
yang kutambalkan di dinding tak cukup menghentikan
rembesan nanah. Ruang di mana-mana membusuk
mawar atau danau, tersedu aku di pantai
di gunung juga setiap trotoar

“kirimi aku segaris kisah
tanpa warna kelam!” – parfum yasmin
atau seonggok sesaji tak tercium aromanya. Angin
memotong nafasku. Menyangkutkannya
pada kanvas robek yang dijahit anak-anak
o waktu, betapa tambal sulamnya

nanoq da kansas

07 December, 2008

untuk pelukis om frans nadjira

... bagaimana jika kudarahkan saja
kanvas ini? – ujar seorang pelukis pada
sang kolektor. aku susah sekali menggerakkan
tangan. walau untuk sekedar menarik garis – membentuk
sayap. atau sekedar lengkung meniru mata rajawali yang bijak

HUTAN MEMUAI – POHONAN TERPENGGAL JADI SANGKARSANGKAR ANTIK – TERGANTUNG DI PASAR – DI REAL ESTATE – DI SWALAYAN – DI HALAMAN PADANG GOLF – DI BARISAN ANGGUN KANTOR BANK – BUKU PELAJARAN BIOLOGI KEHILANGAN SEKIAN HALAMAN HABITATNYA – HUTAN MEMUAI – POHONAN TERPENGGAL

maka pelukis itu memotong kedua tangannya
mengucurkan darah di sekujur kanvas
di sebuah art shop sang kolektor mengganti sayapnya dengan
batre dan remote control
maka jadilah burung-burung yatim piatu di sepanjang
abad mendatang

nanoq da kansas