26 August, 2008

untuk adikku: laurencia

aku akan merindukanmu nenek
senantiasa. tapi aku tak bisa
menangis sejujur air matamu
karena penderitaanmu adalah garam
dan cuka dunia, sedangkan kesepianku
lebih menyerupai iklan lampu hias
dalam televisi hitam putih


aku akan merindukamu nenek
senatiasa. tapi aku telah kehilangan
kegembiraan setulus air matamu
karena engkau danau
bagi air mata dunia
sedangkan aku lebih teka-teki
dari arus dan angin laut


bila engkau puisi, aku pun
barangkali puisi. hanya saja abjad
dalam darah dan doamu begitu utuh
sementara tanda baca di sekujur tubuhku
tak akan mampu menjelaskan
makna paling sederhanadari bahasa manusia


suaramukah yang datang padaku
merambat dari angin, dalam cahaya
tergenang embun di bibir kelopak bunga?



ah, aku mengigau
menggapai-gapai benang terentang
di antara tempurung kepala dan jiwaku
menggapai-gapai tepian
di antara hasrat dan penolakanku
:aku rindu padamu ...


di luar, pagi pecah
berserakan jadi daun-daun kering dan jatuh
dari jendela, kulihat tubuhku gemetaran
memegang sapu hitam dan angker
menggorek-gorek sampah yang selalu saja tersisa
plastik-plastik, debu-debu
kertas-kertas koran yang tak terbaca
surat-surat cinta yang merana dan menggigil
kamus-kamus yang senantiasa tak terpahami
kulit-kulit pohon yang mengelupas
semuanya berwarna hitam
sehitam sapuku
dan ketika semuanya kubakar
asap itu pun berwarna hitam
berbau hitam: d a r a h!


darah siapakah yang mengalir sepagi ini?
aku ingin mengadu,
: aku tak membunuh!
aku sungguh-sungguh tak membunuh siapapun!
hari ini alangkah inginnya aku berdamai
alangkah inginnya aku diam
tapi aku telah melihat bom-bom berjatuhan
dan salah perhitungan tentang sasarannya
aku telah melihat
pestisida, insektisida, fungisida
diam-diam menyelinap ke setiap pori-pori udara
aku telah melihat cairan-cairan aneh
meresap dan bergolak ke rahim bumi
wahai! kenapa semua jadi punya hasrat bunuh diri?


sepagi ini kita telah bertengkar
: tentang nasib, kita tak bisa bicara! – ujarmu
aku mau mengalah, tapi korban terlanjur banyak
siapa yang mesti aku percayai?
terus terang saja, pada diri sendiri pun
aku acap kali tak percaya.
aku tak percaya ada hukum yang punya hati dan jiwa
aku tak percaya ada hukum yang bijaksana
seperti mereka yang telah merancang dan menulisnya
sebab hukum seperti sapu hitamku
: hitam dan angker
dan ketika hukum itu jatuh di alengka, kurusetra
hiroshima, tian an men, bagdad, bosnia, yerusalem
santa cruz, jakarta, aceh, maluku
di rumah tetangga dan di kamar tidurku
maka sampah-sampah mengeluh
: aku tak bisa menghindar ..., – bisiknya pada sejarah
dan dari jendela aku saksikan hujan
tak turun pada musimnya
pepohonan tak berbuah pada musimnya
anak-anak ke sekolah tanpa bakal pemahaman
bagaimana semestinya mencintai dan menghayati
jiwa hurup-hurup dan angka-angka


wahai! sepagi ini kita telah bertengkar
dengan kata-kata yang tak bisa lagi dimengerti
walau sepatah
sementara di luar jendela, aku melihat tubuhku
bergumul dengan jutaan bayang-bayang hitam
tubuhku yang telah kehilangan bentuk
terbanting-banting dan mengelupas
terakhir, aku lihat jutaan pagi dan daun-daun
kering berhamburan dari pecahan kepalaku
berjuta-juta bayangan hitam itu
kini sepanjang jalan menyapu dengan sapu hitamnya
dan segala air mata telah terbakar
asapnya hitam
berbau hitam: d a r a h!


bermula cinta
aku merekah dari tatapan fajar
dan aku tak memilih tanah air
sebab aku sendiri
telah basah terguyur tempias musim


aku merekah jadi rindu
pada sekepak demi sekepak sayap kekupu
dan aku telah merasa tahu untuk sebatas pengertian
ketika kubiarkan taburan pelangi sarat warna
menerpa sejuk dari ujung cahyamu
kutangkap itu
bersama angin yang menjadi harumku


namun jika masih tersisa beberapa celah
antara ujung jemarimu dan penggalan daunku
aku mengerti itu
sebagaimana pula kupahami
ada tepi yang tak sampai diusap ombak


kuasaku hanya pesisir

pada batas mana sebuah musim menyerah