30 December, 2008

: kepada santi

kita berduyun, sedang hujan datang
sendiri. Menggoyangkan cemara muda
tempat kita berteduh
senja itu

siapa di antara kita yang teringat ibu?
kampung halaman tak lagi mengirim angin
hanya selembar potret dalam hati
dengan gambar begitu samar
mempercakapkan genangan danau dan demam
yang dikepung ribuan kota
dalam kesepian matamu

sebentar lagi gelap
engkau boleh pulang setelah makan, — hiburmu
Maka kita pun menyalakan tungku
aku mengunyah keratan pertama masa silammu
engkau menghisap bagian paling hitam
jantungku. Darahku
sempurna

lama.

Hujan tak pernah sampai ke stasiun
gelap yang datang lapar juga
menelan jalan puisi di depan kita
: aku buta arah tempuh
engkau kehilangan waktu

kita tak pernah bisa pulang

nanoq da kansas

kepada pelukis made wianta

di manakah asalku ketika kau buka pintu?
halaman kecil itu pun telah menjadi cakrawala
menelan atmosfir di luar tubuhku
aku datang bergelimang biji-biji tumbuhan
tunas-tunas bunga ajaib, bahkan
debu yang sebagiannya tak kukenali

siapa di antara kita yang menggali
atau tergali?
di tembok putih – tempat sebagian langit
melabuh, hal-hal kecil berbiak liar
pikran-pikiran besar merunduk
tertinggal jauh oleh diam yang
diciptakan riuh rindu percakapan warna

sementara itu
usiaku yang terlambat menancapkan akarnya
selalu tersipu di atas garis gairah
kelahiran yang ditinggalkan tanah
perjalanan yang digoda
banyak sekali persimpangan
sebelum usai kanvas terbingkai

di manakah asalku ketika keluar
dari pintu itu?

nanoq da kansas

29 December, 2008

kepada pelukis made budhiana


kanvas yang dijahit anak-anak, akankah
sempurna menyerap cahaya? Betapa dingin
perjalanan sekarang. Sampah-sampah
yang kutambalkan di dinding tak cukup menghentikan
rembesan nanah. Ruang di mana-mana membusuk
mawar atau danau, tersedu aku di pantai
di gunung juga setiap trotoar

“kirimi aku segaris kisah
tanpa warna kelam!” – parfum yasmin
atau seonggok sesaji tak tercium aromanya. Angin
memotong nafasku. Menyangkutkannya
pada kanvas robek yang dijahit anak-anak
o waktu, betapa tambal sulamnya

nanoq da kansas

07 December, 2008

untuk pelukis om frans nadjira

... bagaimana jika kudarahkan saja
kanvas ini? – ujar seorang pelukis pada
sang kolektor. aku susah sekali menggerakkan
tangan. walau untuk sekedar menarik garis – membentuk
sayap. atau sekedar lengkung meniru mata rajawali yang bijak

HUTAN MEMUAI – POHONAN TERPENGGAL JADI SANGKARSANGKAR ANTIK – TERGANTUNG DI PASAR – DI REAL ESTATE – DI SWALAYAN – DI HALAMAN PADANG GOLF – DI BARISAN ANGGUN KANTOR BANK – BUKU PELAJARAN BIOLOGI KEHILANGAN SEKIAN HALAMAN HABITATNYA – HUTAN MEMUAI – POHONAN TERPENGGAL

maka pelukis itu memotong kedua tangannya
mengucurkan darah di sekujur kanvas
di sebuah art shop sang kolektor mengganti sayapnya dengan
batre dan remote control
maka jadilah burung-burung yatim piatu di sepanjang
abad mendatang

nanoq da kansas

17 November, 2008

bersama pelukis made suta kesuma

I
seperti teratai, lihatlah
teratai patah tubuhku. kolam hitam
lumpur dunia diombakkan waktu
bergesekan batu-batu cinta purbaku
membentukmu

II
engkau menangis, semalam
padahal aku terbunuh dalam mimpimu
pagi-pagi kita bertemu. aku
sebentuk debu

III
mimpimu andaikan bunga teratai
daun teratailah mayatku
ke dalam kolam kita diikat waktu
tubuh sebatas adonan lumpur. di permukaan
dunia memaknai

nanoq da kansas




:loloan – bali

ketika memeluk tubuhmu, dara
serasa telah kugenggam seluruh beban
dunia. lalu aku mengira
telah kita habisi segala kecurangan
permainan dalam sisa-sisa peradaban

tapi malam yang jatuh
di sekeliling kolam teratai matamu
semakin mempertegas kehilangan kita akan
waktu. dan seperti roda kereta kuda
kita pun diputar dengan kekuatan cemeti
memasuki perangkap
yang menghela kampung kita
menuju daratan yang sama sekali
asing

selesai menciummu, dara
pagi yang pucat
mendapatkan selembar jilbab masa silammu
yang jatuh semalam di bawah bayang
bayang gerhana pertemuan kita
berdebu!

maka kehilangan kita pun kian sempurna
bila anak-anak menanyakan
nama asal kampungnya

nanoq da kansas

29 October, 2008

dapatkah engkau memasang beberapa huruf
dan gambar-gambar dengan sedikit saja
berita kesedihan, o, sahabat-sahabatku yang gembira?
aku ingin mengirim puisi ke dalam faximile-mu
dengan bahasa yang belum ada dalam kamus. Soalnya
setiap perjumpaan selalu engkau ceritakan perkabungan
walau kematian bukanlah akhir dari pertemuan

tulislah sesekali cinta dalam headline. Aku
perlu bacaan sederhana, seteguk penawar mimpi buruk
setelah jam-jam kerja dihabiskan tv dan radio
dengan upacara pembantaian di setiap kedaulatan manusia

tulislah cinta
sesekali saja, walau itu hanya dongeng

nanoq da kansas




perjalanan terus menyusun kabar demi kabar. Membentuk
sejarahnya sepanjang mimbar di halaman koran pagi.
Seperti keinginan kemarau memaknai banjir,
sementara hatimu tak hentinya
memenggali hulu sungai. Cakrawala apakah
yang dilukis laut
pada pesisir percintaan nasib dan
pendewasaan anak-anak kita?

lebih sering aku tak mempercayai telepon. Percakapan
yang dihisap bayang-bayang, walau engkau
memastikan jujur. Orang-orang kian banyak berangkat
lalu kehilangan alamat

aku masih berpegang pada mawar di tengah percepatan
yang diderita kampungku. Maka
teleponlah aku pada angka-angka yang belum
sempat dicatat jam, daftar menu atau kalkulator

dan engkau mungkin tak salah

sampai jumpa di dering berikutnya

nanoq da kansas




di persimpangan sejarah kita bersulang senyum
sambil mempercakapkan kelahiran demi
kelahiran benda di etalase mimpimu, jurang-jurang
atau gang-gang gemerlap
yang dingangakan kecemasan metropolitan
wahai, kita lupa pernah duduk bersama
di depan mesin jahit merangkai
perca-perca dari potongan bahasa tanah

nanti sekali, di seberang ruang kelas anak-anak
di balik perangkap laba-laba usia
kita pun akan menghitung dengan sederhana
pasangan merpati mengenang pohonan
yang disisakan ruang tamu

sesudahmu

nanoq da kansas

28 September, 2008

di dusun kita, di jalanan bercadas
begitu saja engkau tumbuhkan kangen
seperti mengembalikan puisi pada kodratnya
: menyaring debu
bahkan layu luka pohonan sejarah kecilku

ternyata aku telah memulai lagi petualangan ini
sebagai petani dari masa silam negeriku
yang kehilangan bahasa musim
setelah rumus-rumus zaman meluluhkan
doa-doa para pawang hama

aku ingin membajak mulai dari betismu
yang telanjang dan mengingatkan aku bahwa
perempuan di dusunku adalah naluri bumi
yang tak bernama selain cinta
dan aku – turunan para petani
akan terus memelihara jalanan cadas
agar kian hijau kangen yang engkau tumbuhkan


nanoq da kansas

sepanjang senja itu
cinta memeluk nafas kami
karena dingin gerimis semalam
kami sepakati untuk tak menangis
bagi sebagian perjalanan yang terhapus
oleh ketergesaan sejarah

dengan kejujuran angin
yang mengelus hamparan hijau tebu
jalanan ke bantul masih menyisakan
lori-lori jelita
aroma lumpur dan sepeda tua
senyum tabah penjual dawet, pengayuh becak
cukup sederhana untuk membangun kembali
kenangan seorang penyair

dan puisi dapat hidup senantiasa
di mana saja, seperti air mengalir
menemukan bentuknya di coklat kali code
atau di eskalator departement store
yang mencuri kesahajaan malioboro
untuk akhirnya pulang kepada cinta
dan kami belajar jadi air
kalaupun tak sepenuhnya sama
kami tak lebih dari penari

bagian kecil sandiwara zaman

nanoq da kansas




parangkusumo senja


apa yang dapat kuceritakan pada pasir bisu
atau pohon siwalan yang bersikukuh
meredam misteri
laut selatan
selain senja yang terkesima
pada keajaiban cinta yang melahirkanmu

segera kubayangkan matamu
di mana dunia tua kita tergenang
suara-suara
biola zaman yang tersayat
mendekapku – menghindarkan aku dari kecemasan
dan mengajarkan puisi-puisiku
mencintai jiwa-jiwa sederhana perkampungan
yang berani menyambut sunyi
bahkan lebih agung dari kematian

barangkali aku telah terlalu jauh mengembara
mempertanyakan perih dunia di setiap luka waktu
atau aku telah terbunuh jauh sebelum
rindu diterjemahkan kemarau dari kelopak bunga
maka kekasihku, ceritakanlah
senja yang terkesima pada keajaiban
cinta yang melahirkanmu

nanoq da kansas




berujung jugakah kemarau
di sini, ibu? mataku terkubur abu
pohonan hangus di tanah kupu-kupu
merindukan jemari rampingmu
menambal koyak cakrawala
sepanjang darah air mata tanah airku

pagi yang kemudian menjenguk jiwaku
di persimpangan benda-benda; menyuguhkan
segelas embun
mungkinkah tuhan sedang rindu
pada taman-taman yang telah mati
dalam sajakku?
kapan

aku boleh meneguknya? sementara setiap rambu
tak hentinya menyuntikkan serum duka ke dadaku
satu jam sekali sejarah menuangkan
cairan penghilang rasa sakit
ke dalam jahitan kepalaku
dan

ketika aku sampai ke alamat cintamu
barangkali aku sudah tak butuh apa-apa
kecuali kehangatan ramping jemarimu
untuk mengikatkan seutas benang doa

pada jiwaku yang tertinggal di halte-halte

nanoq da kansas




esok atau seabad yang akan datang
engkau bahkan pasti kukenalkan kembali
pada rona atap rumah, aroma bunga mangga
serta jalan kecil ke sungai
: bagian paling sederhana dari riwayat kita
sebelum kota-kota bertamu
lalu mengangkut kita pada jarak
yang disepuh kefanaan dunia

saat engkau kembali, padaku engkau akan
menanyakan kabar masa kecilmu. sawah-sawah atau
hutan yang melegenda dalam puisi
semoga aku berani tak berpura-pura lupa

atau engkau mungkin akan mengisahkan
pengorbanan jam-jam sekolahmu pada kilau
kristal kimia laboratorium, remang-remang politik
yang lebih dipercayainya dari pada
kejujuran tradisiku
tentu kita akan mencoba saling memahami
seperti pengertian yang tumbuh antara hujan
dan kemarau di kampung kita yang menjadi puisi
:puisi kita

maka esok atau seabad yang akan datang
engkau bahkan pasti kukenalkan kembali
pada bagian paling sederhana

dari sejarah yang dibentuk riwayat kita

nanoq da kansas




29 August, 2008

lalu dia datang juga, ais. Kereta
malam itu – pluitnya yang getir
mengisyaratkan jarak yang akan mengirim
percakapan kita pada garis hitam putih
jalanan. Lalu
sejenak waktu akan hampa

andai aku selembar daun pohonan surabaya
yang dijatuhkan nasib di permukaan kalimas
maka akulah perjalanan panjang itu
kelelahan menjadikanku sempurna
memerankan lelaki. Berabad-abad
setelah perempuan bersembunyi dalam tubuhku

ajaib. Bau hutan – bau lautan
yang terbakar gemuruh kota
kutemukan menjadi hujan di matamu
lalu

subuh di kemarau jiwaku
berkemas menerima cahaya pertama

bagi sebuah musim tak bernama



dapatkah engkau jelaskan, manisku
kereta inikah yang terlalu cepat
bergerak? Merengkuh pulau demi pulau
menjaring seluruh mimpi bagai laba-laba
atau kotamu yang bergegas menghapus jejak?

lalu di manakah cinta kita, ais?

sungguh. Aku ingin sekali memberikannya
kepada sebagian nasib yang mengendap
di tangan mungil dan lunglai
para pejuang anak-anak bermata sendu
sepanjang halaman parkir, lantai dasar plaza
ruang tunggu stasiun sampai ke kedalaman
pelabuhan perak yang berkeringat
selalu

dapatkah genggaman tanganmu kupinjam?
sejenak saja bagi pencarianku yang naif
setelah reruntuhan masa silam kita
membelukar membentuk nganga jurang demi
jurang yang membelah wajah siang
wajah malam

atau rambutmu yang masih panjang
bolehkah kuminta selembar saja?
kujadikan jembatan menuju cakrawala

pulang kepada peradaban yang rendah hati



melengkapi percintaan kita yang sederhana
kukirim kepadamu sebuah sungai
mata airnya kuminta dari bintang di gunung
setelah ia ajarkan padaku
kejujuran langit membagi cuaca
untuk memberi nama musim demi musim
bumi kita yang jenaka

lalu muaranya kugali di pasir pantai
sebagai tanda keterbatasan
pengenalan kita pada pesisir takdir
yang disimpan ombak setelah angin
mengantar mimpi-mimpi
pada kesamaran tangis-tawa

begitulah kucairkan tubuh-hatiku
menempuh keteguhan batu-batu
menyelami kesetiaan riwayat daun
yang gugur menjadi susu bumi
kembali ke sumsum ibu
dan engkaulah ibu, karena
engkau melayarkan bintang
tanpa takut terdampar
di pasir hitam
pantaiku yang tak selalu bening



dan kita mencintai tanah air ini
apa adanya, ais. Meneladani ketulusan ibu
saat membasuh telapak kaki pahlawannya
di hari pertama ia tersentuh
gairah bumi gairah langit.

kita akan menanam sesuatu di sini
entah bunga atau duka.

jangan menangis di tepi jalan
bila engkau saksikan pohonan terluka
atau banyak wajah kehilangan bentuk
angin tak selalu membawa sejuk
ada kalanya ia tak dapat menolak
gemuruh dan badai
yang menggeliat dan bangkit tiba-tiba
dari jiwa-jiwa kekuasaan
abad yang cemas.

dan kita adalah pohon bagi angin
ditumbuhkan dengan bahasa terbatas
santun melepas daun
patah ranting sebelum ranum
biji di dalam daging.


jangan menangis. Cintaku padamu
akan senantiasa hidup seperti
cinta kita pada tanah air ini
yang sepenuhnya hanyalah ibadah
seluruhnya adalah karunia
kita perankan sesederhana rumput

yang mengerjakan rumah bagi serangga malam.


(membaca koran terbakar)

ibukota rupanya telah menumpahkan
tinta buram dalam kertas-kertas suratmu
tanganmukah yang gemetar? atau
hurup-hurup itu sengaja disayat-potongi
untuk memagari ketenteraman semu
yang mereka tumbuhkan di koran-koran
televisi dan buku agenda.

aku nyaris mengerti, kekasihku
ini pelajaran sederhana tentang diam
yang tersesat di ruang kuliah kita
yang mesti kita pahami
seperti kita memahami cahaya pagi
yang berhak menghapus mimpi-mimpi kecil
dalam kelembaban rumah-rumah kardus
sepanjang perbatasan ibukota.

memegang suratmu, aku teringat catatan-catatan
dalam laci di sebuah meja kerja
: keputusan nomor berapakah
yang boleh kita tunda atau pertanyakan?

tidak! tak ada jarum jam yang
diciptakan untuk menunggu sebuah pertimbangan
dan atas sebuah pertanyaan kecil yang lugu
kisi-kisi tangsi akan dengan gembira
mengutuk kepala kita menjadi kambing hitam
atas tersandungnya persekutuan
antara topeng-topeng kebenaran dengan
laras sepucuk senapan.

membaca suratmu, kekasihku
aku segera paham
ibukota dalam kemegahan hatiku-hatimu
telah ditumpahi tinta buram
dari darah hurup-hurup yang disayat
yang dipotong
sebelum dideretkan dalam halaman sejarah
yang wajib dihapal anak-anak kitaesok pagi.

26 August, 2008

untuk adikku: laurencia

aku akan merindukanmu nenek
senantiasa. tapi aku tak bisa
menangis sejujur air matamu
karena penderitaanmu adalah garam
dan cuka dunia, sedangkan kesepianku
lebih menyerupai iklan lampu hias
dalam televisi hitam putih


aku akan merindukamu nenek
senatiasa. tapi aku telah kehilangan
kegembiraan setulus air matamu
karena engkau danau
bagi air mata dunia
sedangkan aku lebih teka-teki
dari arus dan angin laut


bila engkau puisi, aku pun
barangkali puisi. hanya saja abjad
dalam darah dan doamu begitu utuh
sementara tanda baca di sekujur tubuhku
tak akan mampu menjelaskan
makna paling sederhanadari bahasa manusia


suaramukah yang datang padaku
merambat dari angin, dalam cahaya
tergenang embun di bibir kelopak bunga?



ah, aku mengigau
menggapai-gapai benang terentang
di antara tempurung kepala dan jiwaku
menggapai-gapai tepian
di antara hasrat dan penolakanku
:aku rindu padamu ...


di luar, pagi pecah
berserakan jadi daun-daun kering dan jatuh
dari jendela, kulihat tubuhku gemetaran
memegang sapu hitam dan angker
menggorek-gorek sampah yang selalu saja tersisa
plastik-plastik, debu-debu
kertas-kertas koran yang tak terbaca
surat-surat cinta yang merana dan menggigil
kamus-kamus yang senantiasa tak terpahami
kulit-kulit pohon yang mengelupas
semuanya berwarna hitam
sehitam sapuku
dan ketika semuanya kubakar
asap itu pun berwarna hitam
berbau hitam: d a r a h!


darah siapakah yang mengalir sepagi ini?
aku ingin mengadu,
: aku tak membunuh!
aku sungguh-sungguh tak membunuh siapapun!
hari ini alangkah inginnya aku berdamai
alangkah inginnya aku diam
tapi aku telah melihat bom-bom berjatuhan
dan salah perhitungan tentang sasarannya
aku telah melihat
pestisida, insektisida, fungisida
diam-diam menyelinap ke setiap pori-pori udara
aku telah melihat cairan-cairan aneh
meresap dan bergolak ke rahim bumi
wahai! kenapa semua jadi punya hasrat bunuh diri?


sepagi ini kita telah bertengkar
: tentang nasib, kita tak bisa bicara! – ujarmu
aku mau mengalah, tapi korban terlanjur banyak
siapa yang mesti aku percayai?
terus terang saja, pada diri sendiri pun
aku acap kali tak percaya.
aku tak percaya ada hukum yang punya hati dan jiwa
aku tak percaya ada hukum yang bijaksana
seperti mereka yang telah merancang dan menulisnya
sebab hukum seperti sapu hitamku
: hitam dan angker
dan ketika hukum itu jatuh di alengka, kurusetra
hiroshima, tian an men, bagdad, bosnia, yerusalem
santa cruz, jakarta, aceh, maluku
di rumah tetangga dan di kamar tidurku
maka sampah-sampah mengeluh
: aku tak bisa menghindar ..., – bisiknya pada sejarah
dan dari jendela aku saksikan hujan
tak turun pada musimnya
pepohonan tak berbuah pada musimnya
anak-anak ke sekolah tanpa bakal pemahaman
bagaimana semestinya mencintai dan menghayati
jiwa hurup-hurup dan angka-angka


wahai! sepagi ini kita telah bertengkar
dengan kata-kata yang tak bisa lagi dimengerti
walau sepatah
sementara di luar jendela, aku melihat tubuhku
bergumul dengan jutaan bayang-bayang hitam
tubuhku yang telah kehilangan bentuk
terbanting-banting dan mengelupas
terakhir, aku lihat jutaan pagi dan daun-daun
kering berhamburan dari pecahan kepalaku
berjuta-juta bayangan hitam itu
kini sepanjang jalan menyapu dengan sapu hitamnya
dan segala air mata telah terbakar
asapnya hitam
berbau hitam: d a r a h!


bermula cinta
aku merekah dari tatapan fajar
dan aku tak memilih tanah air
sebab aku sendiri
telah basah terguyur tempias musim


aku merekah jadi rindu
pada sekepak demi sekepak sayap kekupu
dan aku telah merasa tahu untuk sebatas pengertian
ketika kubiarkan taburan pelangi sarat warna
menerpa sejuk dari ujung cahyamu
kutangkap itu
bersama angin yang menjadi harumku


namun jika masih tersisa beberapa celah
antara ujung jemarimu dan penggalan daunku
aku mengerti itu
sebagaimana pula kupahami
ada tepi yang tak sampai diusap ombak


kuasaku hanya pesisir

pada batas mana sebuah musim menyerah

21 July, 2008

di tepi ranjang
sebuah mimpi dapat terencana
dan tumbuh seperti sebidang kebun bunga
tapi di manakah engkau
ketika kepompong itu menetas?
seekor laba-laba betina
dengan penuh cinta mengunyah langit-langit
kamar hatiku

gang panjang di depan rumah menggeliat
menggeser rambu-rambu dan akar pohonan
anak-anak berlarian di bawah cuaca gamang
di ruang kerja mesin ketik itu bergerak
menetaskan berjuta-juta lembar poster dan slogan
ajaib, ada saja yang butuh demonstrasi
tapi adakah yang teringat
prihal cara menangis yang sederhana?

di meja makan
sebagian demi sebagian peta sebuah negeri tercabik
tapi yang sesungguhnya menakutkan
ada cabikan terbakar sepanjang musim
debunya membentuk gurun yang aneh
seperti wilayah ditinggalkan cahaya

05 July, 2008

ketika usia jadi ruang tunggu senyap nan kaku
waktu tak pasti
perasaan tak menjanjikan apa-apa
: aku terlempar lagi dalam kerinduan padamu

dunia
seperti cermin tua tak jernih lagi
dan patah-patah
tiba-tiba memantulkan seraut wajah
seseorang yang baru saja belajar bersisir sendiri
pada masa di mana ia mulai tersipu-sipu
melihat bayangan dirinya telanjang.

-alangkah menyenangkan wajah nakal-
gumamku suatu ketika di cermin itu,

waktu menjadi tak pasti
sesaat merayap bagai cecak kurus dan merana
mengendap-endap mencoba bertahan
di sela-sela baju kotor yang tersisih
di dinding
bagai kecoa terseok-seok
di kaleng-kaleng bekas kehilangan bentuk
di sepanjang lorong-lorong, pantai, trotoar
parit, kali, rel kereta api
stasiun bus, pedagang kaki lima
rumah-rumah pelacuran, kantor, lipatan dasi
sepatu, kaos kaki
sampah-sampah yang tak selesai dibakar

waktu menjadi tak pasti
sesaat berlari
melampaui seluruh pemikiran dan kata-kata
meninggalkan luka-luka dan memar
di sekujur tubuh yang mulai membiasakan diri meniru
binatang-binatang peliharaan
berciuman di jalan-jalan umum
di pusat-pusat pertokoan
dengan bangga dan sepenuh cinta

o, apa lagi
yang harus aku rahasiakan di sini?
aku tak merasa perlu tak mengatakannya
sebab semuanya telah membangkitkan kembali
kerinduanku padamu

engkau pernah tak menangis
tetapi pucat dan gemetar mendengar mimpi-mimpi
yang ingin kujadikan kenyataan
betapa aku lupa memandang wajahmu lebih seksama saat itu
satu hal yang akhirnya harus aku sesali
setiap kali aku ingin melukis dirimu
di setiap permukaan air yang kutemui
ketika waktu berlari
betapa cepat segalanya berlari
jalan-jalan raya yang megah
berita-berita, sanak saudara semuanya berlari
dan aku tak pernah dapat mengejarnya

tiang-tiang listrik berlari
mendahuluiku tiba di bukit-bukit
sebelum sempat kuperingatkan burung-burung
agar paham dan menepi
jeritanku pun tak sekuat yang pernah aku duga
betapa gemuruhnya suara-suara

pohon-pohon yang terbanting
beradu dengan tangis hutan yang setiap hari
merasa kehilangan sesuatu
siapa sih pencurinya?
kenyataan-kenyataan diam dan kaku
membentur tembok-tembok

wahai tembok-tembok!
tembok-tembok tak pernah aku duga bisa berlari
lebih cepat dari mahluk-mahluk berkaki
aku kehilangan arah
seperti seseorang yang
memegang gagang telepon umum
pada saat ia tak tahu harus bicara dengan siapa
sementara nomor-nomor tersambung sendiri

halo, di manakah engkau?
sudah membaca beritakah engkau hari ini?
aku membaca iklan saja
aku menyukainya
sebab iklan lebih memberi harapan
daripada membaca berita-berita buruk
yang kadangkala berakhir dengan timbulnya
kebencian kepada siapa-siapa
dan berita buruk pun
telah berlari dari segala macam penyelesaian

membaca iklan juga lebih masyuk
daripada membaca karya-karya para penyair.
paling tidak, iklan tak memerlukan otak dan rasa
seperti halnya membaca sebuah puisi
yang seringkali membuat kita terjungkal
dari tidur nikmat
puisi terlalu merepotkan
dan berbahaya

-berperanglah! berperanglah sampai jemu
biar ada kerjamu yang berarti! – inilah iklan
yang paling aku suka
di mana setelah membacanya
aku dapat merasakan dan memahami bahwa sesungguhnya
setiap orang adalah calon seorang pahlawan
dengan perasaan seperti ini
aku jadi lebih bisa menghargai dan menghormati sesama
niat yang pada mulanya ingin menyalah-nyalahkan orang
seketika sirna
dari setiap wajah akhirnya dapat kutangkap
cahaya keakraban
kemesraan dalam mencari kesempatan
untuk lebih dulu menikamkan belati

aku juga paling suka iklan kematian
– telah mati dengan gagah:
nenek moyang – buyut – kakek – bapak
paman – suami – kakak – ipar – adik kami!
semoga tuhan...

o, alangkah mulianya kematian
sebuah kesempatan di mana segala kesalahan
kekeliruan dan penyesalan berakhir
segala kecantikan, kecurangan
angan-angan dan cita-cita berakhir
segala kebencian berakhir
di mana segala-galanya berakhir
alangkah mulianya kematian

kalau aku mati
biarlah mati seperti aliran listrik yang putus
pada saat televisi menyiarkan
pertarungan tinju kelas berat
biar orang-orang untuk terakhir kali
masih sempat memaki
mengumpat dan melampiaskan
segala beban hatinya yang menggumpal
biar orang-orang untuk terakhir kali
sempat merenungkan kembali
apa-apa yang dikira telah beres
kematian seperti ini
tentu tak terlalu buruk
untuk diiklankan atau diberitaacarakan
atau diagendakan dalam kalender kerja

waktu menjadi tak pasti
dan aku terlempar dalam kerinduan padamu
terkutuk sebagai seorang anak nakal pongah dan kacau
dan sekarang sedang belajar menjadi santun
di tengah-tengah suara gemuruh

tunggu!
jangan kau kira aku sedang putus asa
aku biasa-biasa saja
bahwa aku sedang mencoba belajar santun
dengan satu cara
yang tak akan mengganggu siapa-siapa
: aku sedang menertawakan diri sendiri.

menertawakan diri sendiri
kaleng-kaleng bekas yang aku tendangi
di sepanjang trotoar, rel kereta api, stasiun bus
kali, parit, pantai, rumah-rumah pelacuran
juga menertawakan dirinya sendiri

kenapa mereka hanya menjadi kaleng-kaleng bekas
di situ?

begitu jauhkah bedanya dengan
botol-botol bekas parfum, bekas anggur
bekas pinisilin, bekas endrin
yang terpajang anggun di etalase selebritis?
seorang naturalis tentu akan melukis semua ini
lalu memberinya judul life style
kemudian pemilik galeri akan memasanginya
harga sebanding status sosial pembelinya
sementara si pelukis
terpeleset oleh sakit maag di masa muda
dan mayatnya nyasar
menjadi kaleng-kaleng bekas yang kutendangi
di sepanjang trotoar waktu
oh!
aku jadi ingin menelepon engkau untuk hal ini
tapi aku telah lupa nomor-nomor
yang kau katakan dulu
seseorang telah mengambilnya diam-diam
dari bilik jantungku ketika aku muntah-muntah mabuk
karena tak begitu tahan berdesakan
di pintu-pintu bus kota
pintu-pintu kereta api, pintu taksi
pintu supermarket
pintu hati para pelacur
pintu segala pintu
aku tak tahu entah untuk apa
angka-angka itu diambilnya
barangkali ia jatuh cinta padaku
atau angka-angka itu telah dijualnya
di pasar-pasar modal yang dihuni
orang-orang pintar berspekulasi
mempertahankan hidup dengan angka-angka

baiklah. aku kira ini
tak perlu terlalu dirisaukan
dengan kehilangan angka-angka itu
aku jadi merasa diriku
telah pernah menjadi seorang dermawan
dan tanpa menelepon engkau pun
nyatanya aku mampu merindukanmu lebih sempurna
tapi pernahkah engkau juga merindukan aku?
astaga! engkau tak menjawab pertanyaan yang kutulis
dalam setiap naskah cerita pendekku
: bahwa masihkah engkau menari?
masih? tentu saja.
tapi tentunya ini juga merupakan saat-saat
yang sulit bagimu
sebab aku ingat
engkau tak dapat lagi menari di kampungmu sendiri
meskipun engkau tak perlu dibayar
tak seorang pun akan punya waktu
menontonmu
engkau harus menari di luar negeri sekarang
jika ingin ditonton dan dihargai
iya, kan? iya,kan?

sepanjang trotoar waktu
aku tendangi kaleng-kaleng bekas
suaranya gemuruh melengking-lengking
menertawakan dirinya sendiri
sesekali terbentur pada tiang-tiang
atau rambu-rambu.
o, ya, ini adalah kesenangan baruku
kaleng-kaleng bekas itu ketika membentur
akan cukup untuk menarik perhatian
orang-orang yang kaku dalam penantiannya
beberapa saat mereka akan menoleh
dan yakin bahwa sebenarnya akulah yang gila
bukan mereka
bukan mereka!

engkau pikir untuk menjadi gila sama mudahnya
seperti berkenalan dengan hamburger atau pizza?
nanti dulu!
menjadi gila juga memerlukan
keberanian dan keuletan yang tak sepele
salah langkah engkau bisa terperangkap
dimasukkan ke rumah sakit jiwa.
tapi ini masih lebih beruntung
daripada engkau terjaring lsm atau lembaga ham
sebab di sana engkau akan menjadi objek
penyaluran rasa belas kasihan atas nama masyarakat
maukah engkau dikasihani terus-menerus?

dalam kegilaan waktu menjadi tak pasti
setiap tarikan napas
berarti usaha untuk tak terperangkap
setiap kedipan mata
berarti perjuangan hitam dan putih
seperti permainan sepak bola
orang-orang menendang, mengejar, mengganjal
menangkap dan berusaha menguasai permainan
kalau engkau beruntung
sempat menggiring bola dan membobol gawang
engkau akan menjadi bintang
engkau dirangkul, digotong keliling arena
tapi jika permainanmu jelek dan banyak kesalahan
maka engkau di-kartu merah
dikeluarkan dari arena
maka jadilah engkau semacam ban serep
pada sebuah truk pengangkut barang
sebuah ban yang digantung begitu saja
tidak ikut berputar
tapi ikut kecipratan
apabila truk melindas lumpur atau tai

aku tak bisa bermain sepak bola
maka aku tendangi kaleng-kaleng bekas
yang kehilangan bentuk di sepanjang trotoar waktu
di sampah-sampah yang tak selesai dibakar

waktu menjadi tak pasti
sesaat berlari
melampaui seluruh pemikiran dan kata-kata
menjelmakan kaleng-kaleng bekas
dan dari sudut ke sudut jalan
aku hindari seluruh kesangsian
bahwa aku sedang menempuh waktu
pulang ke pelukanmu

21 June, 2008

di ribuan hektar lahan perkebunan
kita menanam palawija hingga rempah-rempah
di ribuan hektar hamparan persawahan
kita menanam dan memanen padi hingga ketan
di ribuan mil kelokan sungai
kita minumkan dan mandikan ternak
di sepanjang kaki langit bentangan samudera
kita membentang layar mengayuh dayung
memanen ikan-ikan, menjemur garam hingga rumput laut
tapi hanya di pasar kita bisa bertemu

secangkir kopi, sepoci teh atau segelas susu
tersaji hangat di atas meja ruang kerja
banyak laporan yang kita baca
tentang rakyat yang sejahtera atau yang melarat
sepiring nasi, semangkuk sayur pedas
sepotong ikan goreng dan telur rebus
tersaji nikmat di meja makan
sambil kita baca koran tentang negeri
tapi hanya di pasar kita bisa bertemu

karena pasar adalah cermin kita
dengan aneka macam wajah
ada buruh kumal dan pegawai yang necis
ada ibu-ibu pedagang dari desa yang sederhana
ada perempuan pengusaha cantik bergincu
ada supir bemo dan kernet yang diburu setoran
ada segerombolan pengemis di emper toko
ada bocah-bocah ingusan mengais tong sampah
itulah pasar
cermin kita sesungguhnya
dan hanya di situlah kita bisa bertemu
dengan rakyat yang paling nyata!

menyerupai tikus, masih kucari heningmu
di pondasi-pondasi departemen
kulubangi beton dengan cakar waktuku
limbah deterjen rumah tangga
kian mempertajam tekstur dekorasi sepanjang gang
sejauh dua puluh empat jam
putaran oplet dan taxi
menujumu

di manakah terminal terakhir
tata ruang dilingkarkan trotoar
kota dilengkungkan antara hasrat dan kebutuhan
seluruh gerak jadi samar
bagai gerimis di permukaan kaca bus
lalu tiap perempatan senantiasa menyodorkan
keterhenyakan
dan bagi tikus dalam mauku
penunjuk arah yang dipaku lengannya itu
tak pernah mencoba berhenti ketawa

memang kesepianku yang salah
bagaimana kuingin padi menghampar dalam warna aspal
juga sepetak kebun tomat
padahal halaman di samping dapur rumah kost
telah ditanami kebun perhitungan
begitulah kekanakanku
rindu primitifku menyerupai tikus mencari heningmu
andai saja dapat kuibadahkan sepi ini ...

di ladang waktu
sayap-sayap kecil
dikepakkan berbagai mimpi
bagi penderitaan besar
dan panjang

air kali mengalir
di dalamnya, terbayang hari esok penuh memar
luka siapakah yang berdarah di gunung?
anak-anak pedesaan
tak mengenal lagi kemuliaan sebuah permainan
mereka kehilangan sepenggal keluguannya
dan merasa asing bagi sebuah pemahaman
yang lahir secara sederhana
bahwa sekuntum bunga
mekar untuk dipersembahkan pada cinta

di bibir pantai, angin tersesat
sebuah kampung kehilangan namanya sendiri
hanya kabut bergerak
dari pohon-pohon yang dikerdilkan jiwanya

di ladang waktu
tiba-tiba kita terdampar pada rasa waswas
tak bertepi