19 January, 2009

setelah nafasmu
: bau rempah yang diracik air mata
duniaku pun berhenti mengenang cintanya

sepertinya kampung kita telah digusur dari
peta sembahyangmu. Maka surat-surat tak dapat
lagi dititipkan pada perjalanan daun gugur
yang dulu dikirim angin ke pipimu

aneh. Kesetiaan yang ditawarkan ibumu
lewat pelangi langit-langit bar & diskotik
belum juga mampu mengantarku pada titik
pemahaman tradisi kapstok swalayan, kilau
gelas softdrink atau nafas sepuluh butir
tablet penenang

dan begitulah
istiadat doa dalam peradaban naifku
masih saja meminang-minang aroma tanah
bau rempah yang diracik air mata
walau kampung kita digusur
dari peta keheningan

nanoq da kansas
nirmala bunga semesta (anak keduaku)

kemudian tak kubicarakan sementara pohonan atau
barisan daun ilalang yang pernah menggores
bahumu. Angin menelikung cakrawala
mengambilmu dari bau tanah pedusunan kita
pada cahaya merkuri atau televisi
engkau bahkan tak akan disinggahi debu

sebagaimana engkau ketawa di atas punggungku
membayangkan kuda menembus bebukitan
pada putaran eskalator plaza pun engkau
akan dibujuk untuk dewasa
menempuh waktu bagai taxi yang dirundung
persaingan demi persaingan. Dan
di manakah ibumu? Lelapkah engkau memeluk
rimba mainan yang dikirim iklan di hari
ulang tahunmu?

tak akan kubicarakan sementara waktu kampung
halaman nenek moyangmu yang lugu
cakrawalaku sebatas bukit. Sedangkan
jemari jalanan beraspal yang meyatimkanmu
berkali lipat mendekap telinga hatimu
untuk terhindar dari jeritan
seekor merpati yang mengabarkan rinduku

nanoq da kansas
hening bayu semesta (anak sulungku)