29 August, 2008

lalu dia datang juga, ais. Kereta
malam itu – pluitnya yang getir
mengisyaratkan jarak yang akan mengirim
percakapan kita pada garis hitam putih
jalanan. Lalu
sejenak waktu akan hampa

andai aku selembar daun pohonan surabaya
yang dijatuhkan nasib di permukaan kalimas
maka akulah perjalanan panjang itu
kelelahan menjadikanku sempurna
memerankan lelaki. Berabad-abad
setelah perempuan bersembunyi dalam tubuhku

ajaib. Bau hutan – bau lautan
yang terbakar gemuruh kota
kutemukan menjadi hujan di matamu
lalu

subuh di kemarau jiwaku
berkemas menerima cahaya pertama

bagi sebuah musim tak bernama



dapatkah engkau jelaskan, manisku
kereta inikah yang terlalu cepat
bergerak? Merengkuh pulau demi pulau
menjaring seluruh mimpi bagai laba-laba
atau kotamu yang bergegas menghapus jejak?

lalu di manakah cinta kita, ais?

sungguh. Aku ingin sekali memberikannya
kepada sebagian nasib yang mengendap
di tangan mungil dan lunglai
para pejuang anak-anak bermata sendu
sepanjang halaman parkir, lantai dasar plaza
ruang tunggu stasiun sampai ke kedalaman
pelabuhan perak yang berkeringat
selalu

dapatkah genggaman tanganmu kupinjam?
sejenak saja bagi pencarianku yang naif
setelah reruntuhan masa silam kita
membelukar membentuk nganga jurang demi
jurang yang membelah wajah siang
wajah malam

atau rambutmu yang masih panjang
bolehkah kuminta selembar saja?
kujadikan jembatan menuju cakrawala

pulang kepada peradaban yang rendah hati



melengkapi percintaan kita yang sederhana
kukirim kepadamu sebuah sungai
mata airnya kuminta dari bintang di gunung
setelah ia ajarkan padaku
kejujuran langit membagi cuaca
untuk memberi nama musim demi musim
bumi kita yang jenaka

lalu muaranya kugali di pasir pantai
sebagai tanda keterbatasan
pengenalan kita pada pesisir takdir
yang disimpan ombak setelah angin
mengantar mimpi-mimpi
pada kesamaran tangis-tawa

begitulah kucairkan tubuh-hatiku
menempuh keteguhan batu-batu
menyelami kesetiaan riwayat daun
yang gugur menjadi susu bumi
kembali ke sumsum ibu
dan engkaulah ibu, karena
engkau melayarkan bintang
tanpa takut terdampar
di pasir hitam
pantaiku yang tak selalu bening



dan kita mencintai tanah air ini
apa adanya, ais. Meneladani ketulusan ibu
saat membasuh telapak kaki pahlawannya
di hari pertama ia tersentuh
gairah bumi gairah langit.

kita akan menanam sesuatu di sini
entah bunga atau duka.

jangan menangis di tepi jalan
bila engkau saksikan pohonan terluka
atau banyak wajah kehilangan bentuk
angin tak selalu membawa sejuk
ada kalanya ia tak dapat menolak
gemuruh dan badai
yang menggeliat dan bangkit tiba-tiba
dari jiwa-jiwa kekuasaan
abad yang cemas.

dan kita adalah pohon bagi angin
ditumbuhkan dengan bahasa terbatas
santun melepas daun
patah ranting sebelum ranum
biji di dalam daging.


jangan menangis. Cintaku padamu
akan senantiasa hidup seperti
cinta kita pada tanah air ini
yang sepenuhnya hanyalah ibadah
seluruhnya adalah karunia
kita perankan sesederhana rumput

yang mengerjakan rumah bagi serangga malam.


(membaca koran terbakar)

ibukota rupanya telah menumpahkan
tinta buram dalam kertas-kertas suratmu
tanganmukah yang gemetar? atau
hurup-hurup itu sengaja disayat-potongi
untuk memagari ketenteraman semu
yang mereka tumbuhkan di koran-koran
televisi dan buku agenda.

aku nyaris mengerti, kekasihku
ini pelajaran sederhana tentang diam
yang tersesat di ruang kuliah kita
yang mesti kita pahami
seperti kita memahami cahaya pagi
yang berhak menghapus mimpi-mimpi kecil
dalam kelembaban rumah-rumah kardus
sepanjang perbatasan ibukota.

memegang suratmu, aku teringat catatan-catatan
dalam laci di sebuah meja kerja
: keputusan nomor berapakah
yang boleh kita tunda atau pertanyakan?

tidak! tak ada jarum jam yang
diciptakan untuk menunggu sebuah pertimbangan
dan atas sebuah pertanyaan kecil yang lugu
kisi-kisi tangsi akan dengan gembira
mengutuk kepala kita menjadi kambing hitam
atas tersandungnya persekutuan
antara topeng-topeng kebenaran dengan
laras sepucuk senapan.

membaca suratmu, kekasihku
aku segera paham
ibukota dalam kemegahan hatiku-hatimu
telah ditumpahi tinta buram
dari darah hurup-hurup yang disayat
yang dipotong
sebelum dideretkan dalam halaman sejarah
yang wajib dihapal anak-anak kitaesok pagi.