29 August, 2008

(membaca koran terbakar)

ibukota rupanya telah menumpahkan
tinta buram dalam kertas-kertas suratmu
tanganmukah yang gemetar? atau
hurup-hurup itu sengaja disayat-potongi
untuk memagari ketenteraman semu
yang mereka tumbuhkan di koran-koran
televisi dan buku agenda.

aku nyaris mengerti, kekasihku
ini pelajaran sederhana tentang diam
yang tersesat di ruang kuliah kita
yang mesti kita pahami
seperti kita memahami cahaya pagi
yang berhak menghapus mimpi-mimpi kecil
dalam kelembaban rumah-rumah kardus
sepanjang perbatasan ibukota.

memegang suratmu, aku teringat catatan-catatan
dalam laci di sebuah meja kerja
: keputusan nomor berapakah
yang boleh kita tunda atau pertanyakan?

tidak! tak ada jarum jam yang
diciptakan untuk menunggu sebuah pertimbangan
dan atas sebuah pertanyaan kecil yang lugu
kisi-kisi tangsi akan dengan gembira
mengutuk kepala kita menjadi kambing hitam
atas tersandungnya persekutuan
antara topeng-topeng kebenaran dengan
laras sepucuk senapan.

membaca suratmu, kekasihku
aku segera paham
ibukota dalam kemegahan hatiku-hatimu
telah ditumpahi tinta buram
dari darah hurup-hurup yang disayat
yang dipotong
sebelum dideretkan dalam halaman sejarah
yang wajib dihapal anak-anak kitaesok pagi.

0 Comments:

Post a Comment